Mati

Januari 22, 2018

bismillahirrahmaanirrahiim




Permasalahannya, manusia sering menganggap, hidupnya begitu panjang sehingga sibuk memikirkan apa-apa yang hendak mereka lakukan. Padahal, di hadapan sejarah, berapasebenarnya nilai riwayat hidup kita?
-Muhammad kepada Elyas, tetralogi Muhammad oleh Tasaro GK.

Hal semacam ini sangat terasa akhir-akhir ini. He engga deng. Sudah sejak lama aku dibingungkan atas sesuatu semacam manajemen komitmen diri. Perihal memposisikan diri, dimana semestinya aku berada di suatu waktu, dengan niat apa aku berbuat kala itu.

Huruf yang teruntai di atas sebetulnya ada sejak berbulan lalu. Lebih dari setahun, bisa jadi. Iya ini adalah sebuah draf pada mulanya. Sepertinya akan kulanjutkan.

Kita semua sama-sama tidak mengetahui sampai kapan umur kita dicukupkan. Kita semua sama-sama tidak mengetahui bagaimana kondisi kita kala itu.
Bukan tuntutan bagi seorang yang menginjak usia duapuluhan untuk lebih banyak berpikir tentang hidup dan matinya. Ini sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhan yang hendaknya dirasakan semua hamba, hamba dari Dzat Yang jiwa Shaffa berada di tangan-Nya.

Hanya Allah Yang Mengetahui kapan detak jantung ini berhenti. Waswas? Harus. Ini bukan waswasah yang bisikan setan ya tentunya. Waspada. Kalau tau kepastian hanya Allah yang tau, wajar untuk khawatir? Wajar. Sebuah kewajaran ini, sewajarnya memunculkan sebuah langkah baru dimana "aku harus menjadi hamba yang sebaik-baiknya" menjadi dasar bergerak.

Indah pada akhirnya merupakan sebuah kewajiban dan cita-cita setiap muslim. "Gapapa yang dinilai kan proses" ini nyatanya tidak berlaku dalam konsep kematian. Sebentar, mari kita perjelas.
Proses hidup yang baik bahkan dari saat dimana ia lahir tidak akan terhitung baik ketika diakhiri dengan sebuah amal syirik. Iya tidak?
Proses hidup yang bergelimang kemaksiatan ketika diakhiri dengan taubat yang sesungguhnya, Allah menerima. Iya tidak?

Ketukan untuk setiap orang yang terketuk (?). Kepada diri yang menyadari bahwa akhir hidup kita harus secantik mungkin, bersemangatlah. Sesungguhnya tantangannya di sini adalah kita tidak mengetahui kapan ujung kehidupan ini tiba. Maka "yang penting akhirnya baik biarin aja prosesnya" ini menjadi tidak berlaku. Setiap proses hidup yang kita lalui bisa saja menjadi penghujung kehidupan. Maka secara logika pun semua orang mengerti, bahwa setiap proses harus dilalui dengan sebaik-baiknya.

Aku tidak tau kapan catatan amalku ditutup, maka melazimkan istighfar menjadi hal yang amat berarti ketika kamu mengingatkanku.

You Might Also Like

1 komentar