Rayap

Mei 31, 2020


bismillaahirrahmaanirrahiim 

Aku menemukan kembali buku favoritku di masa kecil, salah satu di antara banyaknya. Sebagian besar lainnya tentang cerita nabi atau sahabat, hikayat, dan cerita rakyat. Adapun dua jilid buku krem hardcover ini menghadirkan sudut pandang lain. Sesekali aku terbang, di kali lain aku berjalan, meringkik, berenang. Membaca ulang buku ini membawaku ke cerita favorit baru yang menggerakkan untuk membuka (kembali) (padahal sebelumnya juga paling musiman hiks) Tafsir Ibnu Katsir. 

Mungkin ini sekadar menceritakan ulang. Resume? 

Banyak manusia mengenalku, kami, dengan modifikasi nama yang bahkan kami tidak satu ordo dengan mereka. Mereka semut, kemudian katanya kami adalah semut putih. Kami sama-sama kecil namun hei sepertinya tidak semirip itu. Manusia terkadang suka sok tahu dan malas mencari. Walau aku tahu, penamaan seperti itu adalah proses belajarnya manusia juga. 

Aku selalu suka bagaimana mengkhayalkan omongan-omongan yang diungkapkan binatang dan tanaman, terutama yang hidup berdampingan dengan para nabi dan rasul. Adapun untuk yang hidup di masa kini, duh, sepertinya aku akan selalu dilanda rasa bersalah dan tak tega mengingat pasti mereka tidak akan berhenti mengungkapkan kedzaliman manusia terhadap alam, meringis, menangis, atau bahkan diam saja saking lelahnya dan saking tahu bahwa manusia sedemikian abai sehingga dirasa tak guna untuk bicara. Satu hal yang aku tahu, mereka selalu punya cara tasbih yang unik di setiap milisekonnya.

Bicara tentang manusia dan kesoktahuannya tadi, beberapa kali kujumpai manusia bergantung pada kabar dan bisikan gaib. Berbekal sajian aneh yang dipersembahkan pada kuburan, di bawah pohon, atau dimanapun itu, manusia kemudian merasa mampu membaca apa yang akan terjadi ke depannya setelah mendapat ilham, katanya. Beberapa bahkan meminjam kekuatan gaib sampai menuhankan, na'udzubillahi min dzalik. Padahal disebut ilham pun rasanya tidak pantas. Seandainya aku bisa menulis aksara, mungkin aku sudah menuliskan definisi ilham lebih dulu dibanding manusia. Menarik sepertinya, rayap menjadi penulis Kamus Besar Bahasa (Indonesia?).

Manusia sudah keranjingan dengan kabar-kabar yang berbau gaib dan mistik. Seringkali lupa, bahwa Allaah Subhanahuwata'ala lebih mengetahui sedangkan hamba-Nya tidak mengetahui. Allaah telah memberikan petunjuk dan peringatan akan hal ini. Hanya saja manusia seringkali lupa dan tidak menyadarinya. Kebesaran Allaah telah menghadirkan aku menjadi salah satu tokoh cerita pembuktian bahwa jin bahkan tidak lebih mengetahui perkara gaib dibanding manusia, dibanding hewan; yang teramat kecil dan sering terinjak.

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dengan segala kemuliaannya, aku tahu bahwa beliau mampu mengerti bahasa kami, mampu mengendalikan angin, dan mempekerjakan para jin dalam melaksanakan banyak hal, salah satunya mengurus istana beliau yang megah. Suatu ketika, dengan izin Allaah aku tersesat ke dalam bilik ibadah Nabi. Jin berlalu lalang sibuk bekerja. Nabi sedang beribadah, aku melihat beliau bertopang pada tongkatnya tak bergerak. Tampak terbenam sedemikian dalam ke dalam ibadahnya, pikirku. Aku turut berdzikir kepada Allaah. 

Sekian lama, rasanya aku perlu keluar dari sana. Laparnya. Aku bertanya pada Sang Nabi namun beliau tidak bergeming. Istana beliau sedemikian agungnya dan aku bisa terlanjur mati jika aku berkeliling dahulu. 

Satu-satunya makanan yang kulihat hanyalah tongkat Sang Nabi. 
Aku berbicara dengan suara yang mestinya beliau dengar. Kulihat Nabi masih tidak bergerak sedikitpun. Sedetik kemudian aku mendapat ilham bahwa sungguh, innalillahi wa inna ilaihi raaji'un, beliau telah wafat. Para jin masih sibuk dalam titah seakan Nabi Sulaiman as. masih mengawasi mereka. Tersingkap sudah, jin tidak mengetahui hal yang gaib. Adapun gumaman mereka terkait yang gaib bukanlah sesuatu yang bisa langsung dipercaya. Wallahua'lam.

Aku tidak punya kekuatan lebih untuk memanggil jin memberitakan bahwa Sang Nabi, raja mereka telah wafat. Selain itu, aku sudah terlalu lapar. Kemuliaan Nabi ternyata masih menyediakan makanan bagi rakyat kecil seperti aku sekalipun beliau telah tiada. Allaah-lah yang menyusun skenario sedemikian indah ini. Kemudian dengan menyebut nama Allaah, aku mulai menyantap tongkat kayu kharub milik Nabi. 

Setelah sekian hari, tongkat mulai goyah. Nabi Sulaiman kehilangan topangannya. Barulah jin menyadari bahwa Sang Nabi ‘alaihissalam telah tiada. Sebagian riwayat menceritakan bahwa aku dibiarkan menghabiskan tongkat tersebut untuk memperkirakan sudah berapa lama Nabi wafat. Sebagian lain menafsirkan bahwa aku tinggal selama setahun dan makan di dalam tongkat Nabi barulah kemudian goyah. Allaah Swt. Mahatahu atas segalanya. 

Tak ada indikasi bahwa jin maupun manusia mengetahui perkara gaib. Jika sekian abad kemudian banyak manusia melakukan cocoklogi hal gaib dengan fenomena di sekitarnya, mungkin mereka luput membaca ceritaku?

Apa kamu datang dari sekian abad setelahku?

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)


Rujukan: 
Bahjat, Ahmad. 1420. Qishashul Hayawan fil Qur'an Jilid 2. Jakarta: Gema Insani
Quthb, Sayyid. 1412. Fii Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani


You Might Also Like

2 komentar