Cermin
September 30, 2018
bismillahirrahmanirrahim
Saya sepenuhnya menyadari jika saya berkata begini begitu
kepada seseorang, maka suatu ketika omongan saya akan berbalik menjadi sebuah
ujaran untuk saya sendiri.
Saya sepenuhnya menyadari jika saya mengutarakan apa yang
ada di kepala saya, maka ada kalanya akan tampak bahwa “ni anak ego amat dah”.
Tapi untuk beberapa hal, saya akan lebih menyesal jika tidak
mengucapkannya.
Terutama dengan kondisi, setelah saya bicara saya tau ia
akan berbicara balik.
Barangkali kala itu memang saya berbicara supaya saya
diingatkan juga?
Saya selalu butuh diingatkan.
Pernah becermin kemudian melihat bayangan diri seketika
bergidik ngeri?
Saya pernah, sering malah. Rasanya seperti melihat hantu
walaupun saya belum pernah betulan melihat hantu yang itu (?), ya yang suka ada
di film-film horor.
Rasanya aneh saja, bayangan itu bisa membaca, menerjemahkan,
dan mengikuti apa yang berlalu di sinaps otak saya tanpa ada selisih waktu
sedetikpun. Dengan kata lain, sebegitu bersamaannya dengan gerak saya.
Yaiyalah, itukan bayangan saya -_-
Alam menjadi cermin diri ini. Bahkan ia bisa menjadi
pengingat yang hebat, jika kita mampu membaca pesan tersembunyi dari riak air
dan goyangan rumput. Tasbih tahmid dzikir alam tiada duanya. Diamnya adalah
ibadah, amat tepat jika becermin padanya.
Kalau ada yang mengatakan jalan-jalan adalah sebuah bentuk
refreshment, ya benar adanya. Terutama jika dari balik dedaunan tepian jalan
itu kita temukan hikmah. Terutama jika dari balik bebatuan berpasir yang
dijejak ada peringatan bahwa setiap langkah kita selalu ada
pertanggungjawabannya.
Namanya, tadabbur alam, ya?
Keluarga menjadi cermin diri ini. Berhubung secara umum
seorang anak dibesarkan di tengah keluarga (pasti ada kasus dimana ini tidak
terjadi ‘kan ya), maka keluarga menjadi faktor besar pembentukan sebuah
karakter diri sampai pola pikir.
Ohiya, yang namanya cermin berarti tidak selalu yang tampak
akan hanya bayang yang becermin ya. Spion menampakkan apa yang sudah/akan kita
lewati, cermin cembung menampakkan begini, cekung begitu, dan seterusnya.
Kembali ke keluarga, akan ada poin yang menjadi bagian
bagaimana kita memposisikan sudut pandang kita ke luar. Hm? Yagitu we pokonya.
Kawan menjadi cermin diri ini. Jika ingin mengenal
seseorang, maka tengoklah kawannya, katanya. Jika berteman dengan seorang
penjual parfum, maka kita mendapatkan pula wanginya atau bisa membeli darinya.
Entah nantinya turut baik, atau minimal mendapatkan kebaikan darinya.
Berlaku timbal balik, kita menjadi cermin mereka dan mereka
menjadi cermin kita. Siapa penjual parfumnya? Hendaklah masing-masing
memposisikan diri. Ya asal tidak menjadi seorang pandai besi ya. (selengkapnya
di HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Rekan menjadi cermin diri ini. Dalam menjalankan sebuah
tugas, suatu kerja, ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukan agar tujuan
tercapai tepat pada waktunya dengan prosedur sebaik-baiknya. Bentuk cermin ini
berlaku ketika melihat bagaimana rekan merespon atas apa yang kita lakukan.
Itulah mengapa berhati-hati dalam mengomentari amat diperlukan adanya, karena
bisa jadi hal tersebut merupakan penyesuaian yang dilakukan terhadap kita. Amat
sangat bisa, bagaimana kita merespon rekan menjadi referensi rekan merespon
kita.
---
Mengapa bergidik ngeri ketika melihat bayang sendiri?
Bayangan ini bisa bergerak. Si empunya sedang hidup di bumi,
sudah mau mati, sudah melakukan apa?
Berharap bisa menghasilkan bayangan yang baik.
Sebetulnya cara saya nulis masih belibet ngga sih hehe bertanya-tanya
0 komentar