Api

Januari 10, 2019

bismillaahirrahmaanirrahiim


Inginkah kamu mendengar sebuah cerita? Mengulik masa lalu dan masa-masa kini, dimana aku yang berbicara. Adapun tentang yang lalu, kakek nenekku selalu mengulang cerita tentang cicit dari cicit cicicitnya cicit nenek moyang kami.

Aku masih memiliki tanya yang sedari lahirku belum terjawab. Apakah tidak apa aku ada? Apakah adaku merupakan kesedihan bagimu? Padahal aku tak pernah bermaksud untuk melukai sesiapapun. Tidak bermaksud namun tetap dianggap begitu siapa yang tak terluka?

Beberapa dari nenek moyangku diberikan rahmat dan limpahan karunia dari Allah Subhanahuwata'ala. Sedemikian iri aku hanya bisa mendengar ceritanya. Orang-orang selalu menjadikan kami peringatan, "Jangan dekat-dekat dia, panas!" atau "Eh, bahaya!". Aku tak apa. Jarak membuat aku dan orang-orang ada dalam kedamaian, kehangatan yang nyata.

Bicara kembali mengenai iriku pada yang terdahulu, aku sungguh ingin merasa sejenak saja aku menjadi lain dari biasanya; dingin. Salah satu nenek moyangku diberi kesempatan itu. Lain hal, bersamaan dengan momen tersebut beliau menyelimuti Sang Kekasih Allah.
Ibrahim. Siapa pula yang tak iri? Berbeda dari biasanya dan menjadi kunci keselamatan Bapak Para Nabi.
Apakah iri yang begini boleh?

Sedangkan ciptaan yang ini, kemarin diseret-seret ke dalam keributan. Kesal sekali rasanya, aku tidak punya kuasa untuk tidak melumat benda yang dikenakan padaku. Aku tidak bisa memilih. Kesal sekali rasanya, terutama jika akhirnya timbul keributan, perpecahan, HEI AKU MERASA DIKAMBINGHITAMKAN. Aku ciptaan-Nya, menghamba pada-Nya, jangan berpecah karena sungguh ada yang tertawa menonton perdebatan ituu. Ingin mengumpat, tapi rasanya tidak perlu jika memang tidak memperbaiki keadaan. Lagipula tak ada yang mendengarku.  Bukankah mestinya kita hanya lakukan apa yang Allah suka?

Apakah tidak apa aku ada?
Bukankah ciptaan-Nya memang 'kebiasaan' sulit bersyukur? Apakah dengan aku meragukan manfaat keberadaanku, aku menjadi ciptaan-Nya yang kufur nikmat? Na'udzubillah :(
Apakah api bisa mengetik emoji? Wkwk. 

Rabb Yang Jiwa Pengetik huruf ini ada di tangan-Nya, sungguh sebuah kehormatan bagi hamba menjadi prajurit-Mu. Menjadi suatu yang ditakuti namun dibutuhkan di saat yang sama. Wahai, siapa pula yang tak takut api neraka? Aku di sana, aku membakar dan melahap siapapun yang terjerumus. Kenyang? Tidak, mana mau diri ini melahap asam dan busuk dosa dunia. Namun Allah Maha Sayang, tentu membuatku bisa bertahan. Siapa juga yang tidak merasa terhormat diberi amanah besar dan mulia, menjadi peringatan bagi para manusia? Sia-sia bagi yang menyia-nyiakan posisi terhormat yang diberikan padanya saat ini. Mungkin nanti suatu ketika kita bisa bertemu?
Na'udzubillah. Aku harap tidak.

Namun kontemplasi panjang yang menemaniku selalu berhasil menentramkan, jika memang orientasi ini tak beralih dari-Nya. Aku bersyukur atas wujudku saat ini. Tetaplah menjaga jarak, biar aku yang matangkan makananmu, menerangi wajahmu, dan menyelimutimu dengan kehangatan yang cukup.

Hadaanallah.



#5
Ini tulisan ditulis dengan dua tanggal yang berbeda. Beberapa paragraf ketika ribut-ribut terbakarnya panji, beberapa lainnya 11 Januari 2019. Paragrafnya juga mengalami reorder. Jadi kalo feelnya campuraduk, maklum saja yaa.

You Might Also Like

0 komentar