Di Bilik Telepon

Oktober 16, 2018


bismillaahirrahmaanirrahiim.

Terdengar nada tersambung!

“Halo, bisa bicara dengan hati?”
“...”
“Halo, maaf mengganggu. Bisakah aku bicara dengan hati?”
“...”
“Kenapa, hati? Kenapa enggan bicara padaku?”


Mungkin hati memang tidak terdengar bicara. Tapi jauh di dalamnya ada banyak tanya pada sang penanya, “Kemana selama ini? Sebelum ini diajak berdialog tak pernah ada respon. Sebelum ini hendak dibantu tapi abai. Sebelum ini, kupikir ia tak mengenalku sama sekali.”
Yang dirasa hanya bingung dan hampa. Yang terucap bukan “Dasar gatau diri emang, dateng pas ngerasa butuh doang” dan bukan pula kalimat-kalimat sinis lainnya. Yang dirasa bukan marah dan bukan pula emosi tak jelas.

Sang penanya tertegun, tidak menutup telepon karena khawatir tidak ada kesempatan selanjutnya untuk terhubung. Walau tak ada jawaban, ia tetap menunggu sembari memilin kabel telepon. Sesekali menggigit bibir bawah, sembari berusaha menemukan jawaban mengapa yang dikontak enggan bicara.

Seketika. Ada kelebat-kelebat dialog dan episode yang sepertinya luput dari pandangannya selama ini. Kelebat ini keluar dari lima persen –bahkan tidak sampai- sudut pandangan mata yang ia gunakan sebelumnya. Sekian menit berselang, telepon belum ditutup oleh yang di seberang, namun tanya belum kunjung terjawab.

Alih-alih kesal, sang penanya menangis.
Dalam, penuh sesal.

Bukan kesal tak digubris tanyanya, namun sesal tak menggubris di masa lalunya.
Kelebat itu bermunculan. Tampak di sana hati selalu berusaha menyapa sembari bertanya padanya  di setiap gundah, sakit, dan sedih. Tampak di sana hati berbicara sembari bertanya kala ia tertawa terlalu keras. Tampak di sana hati kehausan, kelaparan, sekarat namun selalu berusaha mengajaknya berdialog, bertanya,
“Hai. Apakah kamu tidak apa-apa? Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana obat dan suplemenmu, sudah dibaca? Mahadoktermu sudah memberi resep kuat. Oiya, kalau kamu menderita segala sakit pun ada resepnya, lho! Jangan bingung, nanti aku ikut bingung. Jangan sedih, kamu tidak sendiri.”

“ Heiheihei. Apakah tak apa tertawa kelewatan begitu? Rasanya bahagia pada kadarnya sudah nikmat kok. Tawa itu tidak harus terbit dari hura-hura seperti ini. Hati-hati, nanti engsel mulutmu kram. Sepertinya kita harus sering-sering mohon ampun, dikomat-kamitkan agar kamu ingat terus ya.”

“Umm.. Halo? Sadarkah kamu bahwa aku ada? Aku tak apa haus begini, tapi nanti kalau serak, kamu (semakin) tak bisa dengar aku bicara. Aku tak apa lapar begini, tapi kalau aku pingsan, aku tak bisa dengar jawabmu atas tanyaku...”


Dialog terakhir diuntai dalam bisik. Saking sisa-sisa tenaga tak mampu menopang suara sang hati.
Sang penanya masih menangis, kali ini sesenggukannya terdengar menggema di dalam bilik telepon. Air matanya mengaliri kabel, untung menetes duluan ke lantai sebelum merusak rangkaian dalam badan teleponnya.

Ia amat yakin hati masih mendengarnya. Namun ia tak kuasa bertanya kembali karena rasanya betapa kurang ajar ia datang di saat seperti ini, lamaa sekali setelah bisik sekarat sang hati yang masih seputar “Apakah kamu baik-baik saja?” dikalahkan oleh dentum jarum yang jatuh.

Ya. Hati masih mendengarnya. Walau penuh tanya, bingung dan hampa, dalam pejamannya ia masih berusaha merasakan gemericik air mata sang penanya. Mula tak terasa, semakin lama semakin menyejukkan. Ada damai yang mulai menyelimuti kebekuan selama ini. Bahagia, rupanya Mahadokter masih memberinya kesempatan –ia dan sang penanya- walaupun entah barangkali tidak sampai 24 jam?

Ya. Hati masih mendengarnya. Hati selalu menantikan dering telepon itu walaupun tak tau bagaimana bisa ia meresponnya.

Ya. Hati masih mendengarnya. Dalam senggukan sang penanya, senyumnya sedikit demi sedikit bisa rekah. Ada secercah tenaga yang didapat. Kaku senyum ini seketika luntur ketika gumaman itu terbisik putus-putus dalam hela napas penuh guncangan dan air mata.

“Astaghfirullaahal’adziim..”

You Might Also Like

1 komentar