Gadis itu menanti. Di tengah rintik hujan. Menanti akan yang
tidak sadar ia dinanti. Berharap akan yang tidak sadar ia diharapkan. Sibuk,
bukan, menyibukkan diri? Entah apa yang dimaksudkan. Yang kini jelas adalah ia
membuat gadis itu kelelahan dalam penantiannya. Kesalnya adalah bagaimana
caranya gadis itu pergi dari kejenuhan yang menyiksa dalam penantian. Ia lelah,
ia penat, tapi tak bisa berkutik. Entah mengapa segala hal yang tersodorkan
dapat dikalahkan oleh sang penantian. Kali ini rasanya hanya rintik yang ia
rasakan, mendukung suasana hatinya yang berharap kembali ke masa penantiannya
tak hanya sepihak saja.
Di sudut lain kulihat gadis lain berusaha asik dengan
bukunya. Beberapa saat sebelum ini perhatiannya sempat teralihkan. Suatu ketika,
ia dihadiahkan sebuah buku. Mendalam. Pemberian itu sedemikian ia senangi. Ia larut dalam bacaannya. Entah setelah sekian
lama, ia teralihkan dari bukunya, tanpa sadar fokusnya terbagi dengan usaha
menyampaikan terimakasih pada sang pemberi hadiah. Gadis itu kemudian sadari
bahwa ia tak perlu sebegitunya. Ia memutuskan memberikan buku lain pada
seorang-yang-dimaksud. Agar ia bisa kembali pada buku-bukunya. Agar sosok yang
mengasihinya pun dapat merasakan bagaimana nikmatnya terhanyut dalam buku
bacaan dan tidak terusik di saat yang bukan waktunya. Oh, jadilah saat ini yang kulihat adalah dua
sosok yang berusaha asik dengan bukunya masing-masing.
Di seberang jalan kulihat gadis yang lain berusaha menghalau
kabut. Menghalau mendung. Menepis gangguan yang datang. Entah darimana
datangnya segala hal yang berusaha ia halau, namun yang kulihat perangnya
dengan sosok lain yang berwujud persis dengannya lebih berarti. Ia berperang
dengan dirinya sendiri. Sengit, di balik sebuah kerangkeng yang tampaknya
dibuat oleh sosok yang ia perangi. Di kala lain sebelum ini, ia sempat
menikmati saat-saat kebersamaan dengan seseorang. Tanpa sadar, seiring
berjalannya waktu, apa yang ia nikmati memberi kekuatan pada ia-yang-dia-perangi
saat ini. Ketika seseorang itu tampak menjauh, jadilah ia seperti sekarang ini.
Berjuang. Walaupun sesekali tiba kunjungan dari seseorang, sosoknya tetap mengondisikan
gadis itu untuk memberi perhatian pada pertempurannya.
Ada yang lebih menarik perhatianku. Gadis yang sedemikian
damai dan tenang. Duduk menawan di tepi jalan. Menikmati saat-saat ini, dengan
beberapa buah buku dan sup hangat di atas mejanya. Menikmati fokus yang selama
ini ia mati-matian ciptakan. Perangnya dahulu sedemikian hebat. Sosok gelap
yang ia perangi sangat kelam. Entah berapa banyak air mata terurai. Entah bagaimana
aku menjelaskan perjuangannya selama ini. Namun sekarang, lihatlah. Pelajaran-pelajaran
yang ia ambil sepanjang pertempuran membuatnya sedemikian kuat dan tenang. Dengan
kesadaran bahwa ia harus mempertahankan kemenangan ini, timbul kewaspadaan akan
apapun yang dapat tiba mengusik. Mungkin ia belum sekuat itu, mungkin hidupnya
belum setenang itu, tapi menciptakan fokus dan menikmatinya bagiku merupakan salah
satu cara untuk berdamai dengan apa yang telah ia lalui. Tanpa bisa dijelaskan
kerumitan dan kekusutannya, di situlah puncak kedamaian dapat ia rasakan dan
syukur akan selalu dapat terpanjat.
Perjalananku masih berlanjut. Yang baru terlontar dariku barulah
sedikit sudut yang tampak. Penglihatanku bisalah salah tangkap. Tebalnya kacamata
ini dan perhatian yang sesekali buyar membuatku tak bisa merekam semuanya
dengan tepat. Namun dari apa yang kulihat, kudapati bahwa kisahku bisa melebar
sedemikian luasnya. Apapun bisa terjadi, dan akulah yang menjadi penentu
skenarionya.
Ini masih akan terus berlanjut.
Dan aku ingin sekali membantu mereka-mereka yang kulihat di
sudutnya masing-masing. Bisakah?