Tangis

Agustus 18, 2018


bismillaahirrahmaanirrahiim


Ada masa yang amat patut kau khawatirkan. Namanya masa dimana kau menangis. Masa itu meliputi diterimanya sebuah stimulus, dilanjutkan dengan transmisi melalui sinaps lalu dibaca dan diterjemahkan, selanjutnya efektor bekerja. Efektor ini menstimulasi kelenjar air mata. Kemudian kau menangislah.

Sebenarnya timbul penasaran, yang membaca stimulus itu apakah hanya otak dan sumsum tulang belakang?
Letak perasaan itu, dimana. Letak hati yang itu, iya ‘hati’, itu dimana. Apakah mereka turut membaca stimulus yang ada. Kalau tidak, yang menentukan parameter suatu hal itu menyakitkan, menusuk, dan sejenisnya itu hebat sekali. Bahagia sempat dijelaskan di perkuliahan, di sekolah, ada karena endorfin. Apakah rasa menusuk, terbeban, itu karena kekurangan endorfin? Atau ada hormon lain yang antagonis terhadapnya?
Seakan bukan mahasiswi biologi yang bicara. Anggap saja saya mainnya sama tumbuhan dulu. Mata kuliah neuro biar menjadi bagian rekan lain saja. Kalau ternyata udah dijelaskan Bu Etty atau Bu/Pak Dosen saya mohon maklum.

Kembali ke masa dimana kau menangis. Khawatirkan ketika ia mulai lebur ditelan masa.

Maka dari itu saya amat berterimakasih pada kamu kamu kamu dan kamu semua yang amat rajin mengingatkan seorang yang pelupa ini, pentingnya masa dimana saya menangis. Atau bisa dibilang amat rajin menyadarkan kalau saya bersalah. Atau bisa dibilang amat rajin menarik saya ke dalam realita bahwa betapa banyak perbaikan yang mesti saya lakukan, “Shaf kok gini sih?”

Hubungannya sama stimulus-stimulus tadi apa ya? Kalau saya menangis maka alhamdulillah, tidak mati rasa dan semua perangkat dari mulai reseptor hingga efektor pun masih berjalan. Walaupun tidak jarang efektor tadi memicu tangisan tanpa air mata. Em, saya anggap ini masih normal secara psikis maupun fisiologis.

Sebentar. Lanjut nanti, ngantuk saya  hehe.

Kembali ke masa dimana kau menangis. Khawatirkan ketika ia mulai lebur ditelan masa.

Tidak bicara sempit bahwa tangis adalah keluarnya air mata, namun ada yang mendalam di dalamnya. Dalam tangis ada sebuah rasa ketidakberdayaan dan akhirnya menghamba pada-Nya adalah satu-satunya opsi yang bisa ditempuh. Memohon pertolongan dengan penuh kesadaran bahwa tiada daya dan upaya selain milik-Nya.
Dan bukankah Allah suka itu?

Maka apabila nanti ketika kamu bicara kemudian aku menangis, mungkin itu adalah satu hal yang patut disyukuri. Kekhawatiran akan hilangnya masa dimana aku menangis bisa disingkirkan sementara waktu. Maka jangan khawatir jika ditemukan ada tangis di sini ya wkwk ya kalo justru ga kepikir khawatir sedikitpun pada mulanya ya bagusla (mikir ‘ini anak kok geer banget’ gapapa geng) dan jangan juga merasa bersalah padahal keadaaannya yang ada ya kurangnya diri ini.

Katanya menangis karena Allah itu melembutkan hati.
Kembali ke masa dimana kau menangis. Khawatirkan ketika ia mulai lebur ditelan masa.

You Might Also Like

0 komentar