Salim

Juni 20, 2018

bismillahirrahmanirrahim.

gambar tidak nyambung biasa

Rasanya yang berbeda seiring bertambahnya umur. Bagaimana mengetahuinya terasa setiap tahunnya, dalam sebuah momen bernama salam-salaman kala 'Idulfitri.

Entah mengapa, dari tahun ke tahun makna salam semakin mendalam. Apa yang bertambah, apa yang berkurang? Agak sulit mendeskripsikannya.

Aku mengamati sedari kecil bagaimana orang-orang, termasuk diriku sendiri, bersalaman, salim dengan orang lainnya, keluarga. Kebiasaan menghabiskan waktu bersama keluarga liburan 'Idulfitri di Desa Cikujang membuat perbandingan ini cukup terasa. Setelah menunaikan shalat 'Id di Masjid Jami' al-Falah, jamaah akan membentuk barisan, mengular sampai depan rumah nenek. Bersalaman, menyatu dengan barisan ibu-ibu yang ripuh dengan anak-anak sehingga tidak bisa turut bergabung shalat jamaah, juga dengan para lansia dan perempuan yang berhalangan.

Dahulu rasanya biasa saja, salim cuma menggiring tangan orang-orang sampai kening atau malah bagian tepian kepala. Inginnya langsung pulang saja makan ketupat dan opor, dipanggil lagi "Sini salim dulu sama orang-orang!".
Semakin tua (huhu), mau tidak mau dan sadar tidak sadar ada kekhidmatan yang bertambah dan porsi asal-asalan yang berkurang. Lebih dari itu, entah mengapa salim bersalaman dengan sesama anggota keluarga rasanya semakin sulit. Semakin sulit memahami sebetulnya apa yang aku rasakan. Apakah perlu membuat sebuah penelitian hubungan antara bertambahnya usia seseorang dengan terhubungnya saraf sensori aktif saat bersalaman dengan terstimulasinya kelenjar air mata?

Itulah mengapa terkadang aku memilih untuk salim singkat saja, atau memilih mengajak adik-adik sepupu sibuk sendiri. Jika tidak, tidak diragukan lagi sekali aku menangis akan sulit berhenti. Hehe.

Semakin bertambahnya usia dan berkurangnya umur dari waktu ke waktu, salim bersalaman akan terasa semakin berarti.
Ada perasaan lebih yang dilibatkan. Ada sebuah pengingat akan pengabdian terhadap orangtua. Ada sebuah peringatan bahwa tak selamanya tangan-tangan itu bisa aku raih untuk sebuah cium tangan.
Tak selamanya.
Mungkin ini yang mendasari dalamnya perasaan (bersalah) yang terlibat. Semakin tua usia, semakin diingatkan akan kesempatan yang terbatas.

Dalam sebuah salim, cium tangan, ada sebuah penundukan atas ego diri, ada sebuah pengakuan atas lemahnya diri tanpa Abah Ummi Aki Eni Bibi Om dan orang-orang penuh jasa lainnya, ada banyak rasa bersalah dari belum berhasilnya proyek membahagiakan orangtua, ada banyak permohonan maaf atas segala kebadungan diri, ada sayang yang mengalir. Ada, sedikit maupun banyak, jika hendak memaknainya.

Mungkin sudah waktunya aku terlalu menghindari salim cium tangan yang sesingkat-singkatnya, menepis gengsi terbitnya rintik air mata. Toh aku tau, darinya mengalir sayang yang lebih deras dari apapun, menenggelamkan jiwa nakal seorang anak Abah Ummi, menerbitkan sebuah tekad menjadi lebih baik dan membahagiakan orang-orang di sekitar.

Doa yang dibisikkan sembari kamu menunduk mencium tangan sungguh mampu menyuburkan besarnya hati, mengobati luka, menepis dengki.
Sebesar itu kekuatan salim bersalaman, cium tangan, bahkan mungkin lebih.

You Might Also Like

0 komentar