bismillaahirrahmaanirrahiim
Aku menemukan kembali
buku favoritku di masa kecil, salah satu di antara banyaknya. Sebagian besar
lainnya tentang cerita nabi atau sahabat, hikayat, dan cerita rakyat. Adapun
dua jilid buku krem hardcover ini menghadirkan sudut pandang lain. Sesekali aku
terbang, di kali lain aku berjalan, meringkik, berenang. Membaca ulang buku ini
membawaku ke cerita favorit baru yang menggerakkan untuk membuka (kembali)
(padahal sebelumnya juga paling musiman hiks) Tafsir Ibnu Katsir.
Mungkin ini sekadar menceritakan ulang. Resume?
Banyak manusia mengenalku, kami, dengan modifikasi nama yang bahkan kami tidak
satu ordo dengan mereka. Mereka semut, kemudian katanya kami adalah semut
putih. Kami sama-sama kecil namun hei sepertinya tidak semirip itu. Manusia
terkadang suka sok tahu dan malas mencari. Walau aku tahu, penamaan seperti itu adalah proses belajarnya manusia juga.
Aku selalu suka bagaimana mengkhayalkan omongan-omongan yang diungkapkan
binatang dan tanaman, terutama yang hidup berdampingan dengan para nabi dan
rasul. Adapun untuk yang hidup di masa kini, duh, sepertinya aku akan selalu
dilanda rasa bersalah dan tak tega mengingat pasti mereka tidak akan berhenti
mengungkapkan kedzaliman manusia terhadap alam, meringis, menangis, atau bahkan
diam saja saking lelahnya dan saking tahu bahwa manusia sedemikian abai
sehingga dirasa tak guna untuk bicara. Satu hal yang aku tahu, mereka selalu
punya cara tasbih yang unik di setiap milisekonnya.
Bicara tentang manusia dan kesoktahuannya tadi, beberapa kali kujumpai manusia
bergantung pada kabar dan bisikan gaib. Berbekal sajian aneh yang
dipersembahkan pada kuburan, di bawah pohon, atau dimanapun itu, manusia
kemudian merasa mampu membaca apa yang akan terjadi ke depannya setelah
mendapat ilham, katanya. Beberapa bahkan meminjam kekuatan gaib sampai
menuhankan, na'udzubillahi min dzalik. Padahal disebut ilham pun rasanya
tidak pantas. Seandainya aku bisa menulis aksara, mungkin aku sudah
menuliskan definisi ilham lebih dulu dibanding manusia. Menarik sepertinya,
rayap menjadi penulis Kamus Besar Bahasa (Indonesia?).
Manusia sudah keranjingan dengan kabar-kabar yang berbau gaib dan mistik.
Seringkali lupa, bahwa Allaah Subhanahuwata'ala lebih mengetahui
sedangkan hamba-Nya tidak mengetahui. Allaah telah memberikan petunjuk dan
peringatan akan hal ini. Hanya saja manusia seringkali lupa dan tidak
menyadarinya. Kebesaran Allaah telah menghadirkan aku menjadi salah satu tokoh
cerita pembuktian bahwa jin bahkan tidak lebih mengetahui perkara gaib
dibanding manusia, dibanding hewan; yang teramat kecil dan sering terinjak.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dengan segala kemuliaannya, aku tahu bahwa
beliau mampu mengerti bahasa kami, mampu mengendalikan angin, dan mempekerjakan
para jin dalam melaksanakan banyak hal, salah satunya mengurus istana beliau
yang megah. Suatu ketika, dengan izin Allaah aku tersesat ke dalam bilik
ibadah Nabi. Jin berlalu lalang sibuk bekerja. Nabi sedang beribadah, aku
melihat beliau bertopang pada tongkatnya tak bergerak. Tampak terbenam
sedemikian dalam ke dalam ibadahnya, pikirku. Aku turut berdzikir kepada
Allaah.
Sekian lama, rasanya aku perlu keluar dari sana. Laparnya. Aku bertanya pada
Sang Nabi namun beliau tidak bergeming. Istana beliau sedemikian agungnya dan
aku bisa terlanjur mati jika aku berkeliling dahulu.
Satu-satunya makanan yang kulihat hanyalah tongkat Sang Nabi.
Aku berbicara dengan suara yang mestinya beliau dengar. Kulihat Nabi masih
tidak bergerak sedikitpun. Sedetik kemudian aku mendapat ilham bahwa sungguh, innalillahi
wa inna ilaihi raaji'un, beliau telah wafat. Para jin masih sibuk dalam
titah seakan Nabi Sulaiman as. masih mengawasi mereka. Tersingkap sudah,
jin tidak mengetahui hal yang gaib. Adapun gumaman mereka terkait yang gaib
bukanlah sesuatu yang bisa langsung dipercaya. Wallahua'lam.
Aku tidak punya kekuatan lebih untuk memanggil jin memberitakan bahwa Sang
Nabi, raja mereka telah wafat. Selain itu, aku sudah terlalu lapar. Kemuliaan
Nabi ternyata masih menyediakan makanan bagi rakyat kecil seperti aku sekalipun
beliau telah tiada. Allaah-lah yang menyusun skenario sedemikian indah ini.
Kemudian dengan menyebut nama Allaah, aku mulai menyantap tongkat kayu kharub
milik Nabi.
Setelah sekian hari, tongkat mulai goyah. Nabi Sulaiman kehilangan topangannya.
Barulah jin menyadari bahwa Sang Nabi ‘alaihissalam telah tiada. Sebagian riwayat menceritakan bahwa aku dibiarkan menghabiskan tongkat tersebut
untuk memperkirakan sudah berapa lama Nabi wafat. Sebagian lain menafsirkan
bahwa aku tinggal selama setahun dan makan di dalam tongkat Nabi barulah
kemudian goyah. Allaah Swt. Mahatahu atas segalanya.
Tak ada indikasi bahwa jin maupun manusia mengetahui perkara gaib. Jika sekian
abad kemudian banyak manusia melakukan cocoklogi hal gaib dengan fenomena di
sekitarnya, mungkin mereka luput membaca ceritaku?
Apa kamu datang dari sekian abad setelahku?
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)
Rujukan:
Bahjat, Ahmad. 1420. Qishashul Hayawan fil Qur'an Jilid 2. Jakarta: Gema Insani
Quthb, Sayyid. 1412. Fii Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani