bismillaahirrahmaanirrahiim.
Terdengar nada tersambung!
“Halo, bisa bicara dengan hati?”
“...”
“Halo, maaf mengganggu. Bisakah aku bicara dengan hati?”
“...”
“Kenapa, hati? Kenapa enggan bicara padaku?”
“...”
“Halo, maaf mengganggu. Bisakah aku bicara dengan hati?”
“...”
“Kenapa, hati? Kenapa enggan bicara padaku?”
Mungkin hati memang tidak terdengar bicara. Tapi jauh di dalamnya
ada banyak tanya pada sang penanya, “Kemana selama ini? Sebelum ini diajak berdialog
tak pernah ada respon. Sebelum ini hendak dibantu tapi abai. Sebelum ini,
kupikir ia tak mengenalku sama sekali.”
Yang dirasa hanya bingung dan hampa. Yang terucap bukan “Dasar
gatau diri emang, dateng pas ngerasa butuh doang” dan bukan pula
kalimat-kalimat sinis lainnya. Yang dirasa bukan marah dan bukan pula emosi tak
jelas.
Sang penanya tertegun, tidak menutup telepon karena khawatir
tidak ada kesempatan selanjutnya untuk terhubung. Walau tak ada jawaban, ia
tetap menunggu sembari memilin kabel telepon. Sesekali menggigit bibir bawah, sembari
berusaha menemukan jawaban mengapa yang dikontak enggan bicara.
Seketika. Ada kelebat-kelebat dialog dan episode yang
sepertinya luput dari pandangannya selama ini. Kelebat ini keluar dari lima
persen –bahkan tidak sampai- sudut pandangan mata yang ia gunakan sebelumnya. Sekian
menit berselang, telepon belum ditutup oleh yang di seberang, namun tanya belum
kunjung terjawab.
Alih-alih kesal, sang penanya menangis.
Dalam, penuh sesal.
Dalam, penuh sesal.
Bukan kesal tak digubris tanyanya, namun sesal tak
menggubris di masa lalunya.
Kelebat itu bermunculan. Tampak di sana hati selalu berusaha
menyapa sembari bertanya padanya di
setiap gundah, sakit, dan sedih. Tampak di sana hati berbicara sembari bertanya
kala ia tertawa terlalu keras. Tampak di sana hati kehausan, kelaparan, sekarat
namun selalu berusaha mengajaknya berdialog, bertanya,
“Hai. Apakah kamu tidak apa-apa? Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana obat dan
suplemenmu, sudah dibaca? Mahadoktermu sudah memberi resep kuat. Oiya, kalau
kamu menderita segala sakit pun ada resepnya, lho! Jangan bingung, nanti aku
ikut bingung. Jangan sedih, kamu tidak sendiri.”
“ Heiheihei. Apakah tak apa tertawa kelewatan begitu? Rasanya
bahagia pada kadarnya sudah nikmat kok. Tawa itu tidak harus terbit dari
hura-hura seperti ini. Hati-hati, nanti engsel mulutmu kram. Sepertinya kita
harus sering-sering mohon ampun, dikomat-kamitkan agar kamu ingat terus ya.”
“Umm.. Halo? Sadarkah kamu bahwa aku ada? Aku tak apa haus
begini, tapi nanti kalau serak, kamu (semakin) tak bisa dengar aku bicara. Aku tak
apa lapar begini, tapi kalau aku pingsan, aku tak bisa dengar jawabmu atas
tanyaku...”
Dialog terakhir diuntai dalam bisik. Saking sisa-sisa tenaga
tak mampu menopang suara sang hati.
Sang penanya masih menangis, kali ini sesenggukannya
terdengar menggema di dalam bilik telepon. Air matanya mengaliri kabel, untung
menetes duluan ke lantai sebelum merusak rangkaian dalam badan teleponnya.
Ia amat yakin hati masih mendengarnya. Namun ia tak kuasa bertanya
kembali karena rasanya betapa kurang ajar ia datang di saat seperti ini, lamaa
sekali setelah bisik sekarat sang hati yang masih seputar “Apakah kamu
baik-baik saja?” dikalahkan oleh dentum jarum yang jatuh.
Ya. Hati masih mendengarnya. Walau penuh tanya, bingung dan
hampa, dalam pejamannya ia masih berusaha merasakan gemericik air mata sang
penanya. Mula tak terasa, semakin lama semakin menyejukkan. Ada damai yang
mulai menyelimuti kebekuan selama ini. Bahagia, rupanya Mahadokter masih
memberinya kesempatan –ia dan sang penanya- walaupun entah barangkali tidak
sampai 24 jam?
Ya. Hati masih mendengarnya. Hati selalu menantikan dering
telepon itu walaupun tak tau bagaimana bisa ia meresponnya.
Ya. Hati masih mendengarnya. Dalam senggukan sang penanya,
senyumnya sedikit demi sedikit bisa rekah. Ada secercah tenaga yang didapat. Kaku senyum ini seketika luntur
ketika gumaman itu terbisik putus-putus dalam hela napas penuh guncangan dan air
mata.
“Astaghfirullaahal’adziim..”